Entah apa yang harus aku katakan padanya jika dia tahu
tentang perasaanku ini, ia pasti kecewa. Hubungan ini genap satu bulan ku lalui
tanpa ada peraaan setitikpun buatnya meski aku tahu dia sangat mencintaiku dan
tak ingin kehilanganku. Sungguh aku menyesal menjadikannya sebagai pelarianku.
Karena dia adalah gadis baik-baik yang cintanya tulus untukku.
Tapi mau dikata apa
ketika cinta tak juga menghampiri hatiku? Aku tak tega membiarkan cinta di
hatinya tumbuh seiring bergulirnya waktu, namun akupun tak tega bila harus
mengatakan sejujurnya apalagi harus meninggalkannya. Ahh..bodohnya aku yang
memberi harapan padanya dan menjadikan dia kekasihku hingga membuatku terjebak
dalam dilema yang kedua pilihan itu pasti membuat dia terluka, karena ku pikir
tak akan separah ini jadinya.
“Yah, qo bengong?
Kenapa?” dia datang mengagetkanku
“oh, enggak bun. Cuma bingung mikirin kerja” sambil ku
tatap matanya yang sayu.
“anter aku ke kampus yuk!” giginya yang berjajar
sambil tersenyum manis menggodaku.
“kamu mau ke kampus jam berapa bun?” tanyaku tanpa
basa-basi
“ya sekarang laah” katanya
“boleh...” kataku menyanggupi dan kamipun pergi.
“Yah, aku rasa ada
yang beda sama kamu. Kamu kenapa? Sakit?” tanyanya penasaran sambil mengeratkan
pegangan di pinggangku.
“enggak, bun. Ayah biasa aja.”
“kalo ada apa-apa cerita ya. Siapa tau aku bisa
membantu”
Aku hanya mengangguk. Ku rasakan tangannya menyentuh
kupluk switerku dan menutupi leherku. Rupanya dia tak mau bulu kudukku
kedinginan. Sungguh perhatian yang nyaman yang sebelumnya tak pernah ku
dapatkan dari gadis-gadis lain.
“Ayah udah
makan?” tanyanya dengan suara yang khas.
“udah tadi pagi, bun” jawabku singkat. Lalu ku coba
tanya balik.
“Bun, besok libur kan? Gimana kalau aku main ke
rumahmu?” tanyaku berusaha menyenangkannya.
“Serius yah?” ku dengar senyumnya girang.
“Iya.” Kataku.
“Oh, boleh. Mau dimasakkin apa?”
“Jangan repot-repot. Aku hanya ingin mengenal orang
tuamu.” Kataku setengah hati.
“Sungguh?” suaranya makin terdengar riang.
“iya bun” kataku.
Aku jadi
mengunjungi rumahnya. Saat ku datang, dia telah menyambutku dengan senyumannya
yang berusaha melunturkan kebekuan di hatiku.
“Selamat datang yah!” katanya
Orang tuanya sudah ada menungguku, ohhh...semakin
bingung jadinya kisahku ini. Entah mau ku apakan.
Bapaknya menghampiriku dan bertanya “Kamu serius
dengan putri saya?”
Aduhh aku harus terpaksa berbohong. Maafkan aku, pak.
Sebenarnya aku tak mencintai putri bapak. Aku hanya mengangguk saja.
Setelah
beberapa menit berbincang, kami ngobrol berdua. Dia yang memulainya.
“Ini bukti cinta aku buat kamu karena selama ini kamu
sudah menyenangkan hatiku. Aku mohon, jangan tinggalkan aku. Karena aku sangat
mengharapkanmu menjadi pendamping hidupku setelah wisudaku selesai...” matanya
menyorotku dengan wajah yang memelas.
Aku tak
ingin berkutat dalam obrolan yang serius yang dapat menyeretku untuk berkata
yang sebenarnya. Akupun mengalihkan pembicaraanku.
“Bun, aku paling suka kalau rekreasi ke wisata alam.”
Sebisa mungkin ku alihkan agar dia tak membahas itu lagi.
“Oh ya? Aku juga suka..” huhh akhirnya beralih juga.
“Bun, tahun baru sebulan lagi. Maukah kamu menyaksikan
sunset akhir taun di pantai pangandaran bersamaku?”
“Boleh yah, aku mau...”
“Deal ya, kita berangkat ke sana.”
“Iya...” dia tersenyum kembali. Ya Allah, dia begitu
cantik dan baik hati. Tapi mengapa tak juga kau limpahkan rasa cinta itu
padaku? Maafkan aku, bun. Maafkan aku..... hatiku meringis.
Sebulan itu
kami lalui bersama, tanpa ada rasa curiga dihatinya dan akupun berusaha keras
untuk mencintainya, namun hasilnya nihil. Cinta itu belum juga datang padaku.
Tiba
saatnya tanggal 31 Desember 2011, aku menjemput dia ke rumahnya ditemani
Revo-ku. Kamipun berangkat. Lagi-lagi, tangannya memeluk pinggangku hingga ke
perut dan kali ini dia bersandar di pundakku.
“Yah, aku tak ingin kehilanganmu..” adduhhh...aku
harus menjawab apa ya??
“Ia, bun. Aku juga tak ingin kehilanganmu. Aku juga
mencintaimu.”
Sebuah pernyataan dusta lagi-lagi terucap dari
bibirku. Kata-kata manis yang sesungguhnya tidak sesuai dengan isi hatiku. Atau
jangan-jangan dia sudah curiga akan perasaanku ini? Aku
bodoh...bodoh...bodoh....
Sunsetpun
tiba, dia menatap sunset itu penuh tanda tanya dan harapan di hatinya.
“Yah, ku harap cinta kita abadi dan bertahan walaupun
gelombang berusaha meluluh-lantakkan cinta kita. Ayah serius kan, mencintaiku?”
Aku berusaha lagi mengalihkan pembicaraannya, namun
kali ini tak berhasil.
“Sunsetnya indah ya, aku suka.” Kataku
“Yah, aku serius bicara padamu tentang kita! Ayah
sayang kan sama aku?” tanyanya dengan nada yang kesal dan sedikit meninggi.
Aku tak bisa berkata dan berbuat apa-apa. Rasanya
mulutku teerkunci untuk berbohong lagi, aku hanya menunduk dan diam seribu
bahasa.
“Ayah sayang kan sama aku?” nadanya lebih meninggi lagi
tapi aku tetap membisu.
“Jawab yah....jawab... kamu denger kata-kata aku kan?”
katanya. Matanya mulai berkaca-kaca.
Aku harus
jujur kali ini padanya, meski terasa pahit. Maafkan aku. Ku coba berkata.
“Maafkan aku, bun. Sebenarnya kujadikan engkau hanya
sebagai pelarian saja, karena aku masih mencintai mantan kekasihku. Selama dua
bulan kita jalani, sebenarnya tak ada cinta sedikitpun dalam hatiku untukmu
meski aku sudah sekuat mungkin, cinta itu tetap tidak mau menghampiriku.”
Kataku menggenggam erat kedua tangannya yang halus daan menatap matanya yang
mulai berkaca-kaca.
“Jadi cintamu selama ini hanya keterpaksaan saja? Kamu
jahat yah! Terus buat apa kamu panggil aku dengan sebutan bunda jika di hatimu
tak ada aku?” diapun menangis, Fitriku menangis. Air matanya tumpah ruah
membasahi pasir Pantai Pangandaran.
“Maafkan aku jika cintaku tak se-Fitri namamu,
bunda...” kataku dengan lembut.
“Tinggalin aku sendiri!!!” Teriaknya
Aku
berusaha memeluknya dan menenangkan jiwanya yang mungkin hancur karena ulahku,
namun dia memberontak dalam pelukanku.
“Pergi kamu, Farid.....pergi!!!” air matanya membasahi
switer hitamku.
“Maafkan aku, bunda...” kataku.
Dia tersedu dan tetap memberontak dengan tangannya
yang memukul rangkulanku.
“Aku yakin bahwa suatu saat nanti kamu akan
mendapatkan jodoh yang lebih baik dari aku. Maafkan aku...” kataku.
Penyesalanku
berlipat ganda dan besarnyapun tiada terkira. Ini salahku. Aku tak akan
menjadikan orang lain sebagai pelarianku lagi. Karena itu awal dari kedustaan.
Diapun pergi meninggalkanku sendiri. Aku tahu, dia dan keluarganya kini pasti
membenciku, aku terima konsekwensinya. Maafkan aku jika cintaku tak se-Fitri
namamu.